MUNCULNYA RISALAH-RISALAH AN-NUR
1343H
1926M
BARLA
Sheikh
Said nursi sampai di tempat pengasingannya, Barla, daerah Sparte, di
barat Anatoli pada musim dingin tahun1926M. Pada malam beliau meringkuk
di dalam lokap. Kemudian beliau diberi sebuah rumah kecil terdiri dari
dua kamar yang menghadap ke arah padang rumput Barla. Kebunnya luas
sampai ke danau Igridir.
Di sana, sejauh empat jam
perjalanan dari kota, di samping danau indah yang ada dua pulau di
tengah-tengahnya itu, terdapat gunung Igridir yang diselimuti dengan
pohon-pohon cemara.
Pada masa itu, Turki hidup dalam
zaman gelap gelita karena kediktatoran, kezaliman, permusuhan
terang-terangan terhadap agama dan usaha memadamkan cahaya Allah serta
memerangi syariatNya atas nama peradaban.
Keadaan ini
berlangsung selama seperempat abad, yaitu sampai tahun 1950M.Terdapat
niat dan makar jahat untuk memutuskan hubungan bangsa Turki dengan Islam
sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi kerana hal itu sukar dilaksanakan,
mereka merancang agar supaya keluar generasi akan datang yang jauh dari
ajaran Islam, yaitu dengan mengeringkan semua sumber yang memberi
makanan jiwa dan akalnya dengan Islam dan ajaran-ajarannya.
Mereka
melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah dan menggantikan huruf
Arab dengan huruf Latin serta mengumumkan bahwa negara ini adalah negara
sekular. Mereka membentuk mahkamah-mahkamah untuk menanamkan rasa takut
dan gentar di seluruh negara dan mereka menggantung sampai mati para
ulama dan orang-orang yang ingin melawan penguasa.
Di
antara rangkaian menerangi Islam adalah penangkapan Sheikh Badiuzzaman
Said Nursi, seorang ulama yang warak dansedang beribadah sepenuh masa.
Beliau lalu diasingkan di Barla, yaitu sebuah kota kecil dan jauh,
supaya populariti beliau redup, pengaruhnya hilang dan dilupakan orang,
sehingga keringlah sumber Islam yang mencurah ini.
Akan
tetapi Allah Taala justeru mengkehendaki kota kecil ini menjadi sumber
sinar Islam yang menerangi seloroh pelusuk Turki pada masa-masa
selanjutnya.Sinarnya sampai di setiap desa, setiap kota dan setiap
pelosok negara.
Di sana ada mata air di depan rumah
kecil – airnya mengalir pada waktu musim panas dan dingin – sebagaimana
terdapat di sana pohon pesawat (sycamore) yang besar, berdiri tegak di
depan rumah. Pada waktu musim bunga dan panas, ribuan burung kecil
menyanyi di atas dahan-dahannya yang banyak.
Seorang
tukang kayu membuat sebuah kamar kecil dari kayu tanpa atap di atas
pohon pesawat (sycamore) yang besar tersebut. Sheikh Badiuzzaman banyak
menghabiskan masanya di situ pada musim bunga dan panas untuk beribadah
kepada Allah, berfikir dan bertafakur serta untuk mengarang
risalah-risalah an-Nur sehingga waktu pagi, sering kalinya. Sehingga
penduduk Barla tidak tahu, masa bila Sheikh tidur dan bila bangun? Tidak
ada orang yang lewat dekat pohon itu pada malam yang tenang kecuali
pasti mendengar bunyi komat-kamit ulama yangsedang beribadah dan
bertahajjud itu.
Di kota ini, dan di rumah ini, Sheikh
Badiuzzaman Said Nursi menghabiskan masanya selama delapan setengah
tahun. Di situlah beliau mengarang kebanyakkan risalah-risalah an-Nur.
Jadi rumah ini adalah permulaan “Sekolah an-Nur”.
Sheikh
Said Nursi sentiasa sakit. Beliau tidak berselera untuk makan. Bahkan
bolehlah dikatakan bahawa beliau menghabiskan umurnya dalam keadaan
setengah kenyang setengah lapar. Sehari semalam beliau hanya makan
beberapa potong roti dan minum segelas kecil air. Makanan tersebut
datang dari salah seorang tetangganya. Beliau selalu membayar harga
makanan tersebut, kerana prinsip yang dilaksanakan sepanjang hidupnya
adalah, tidak mengambil sesuatu tanpa balasan. Beliau membiayai hidupnya
dengan lira emas tabungannya dan dengan hemat cermat berkah Ilahi.24
Mata-mata
pemerintah senantiasa mengintai Sheikh Said Nursi dan mengawasi segala
gerak-gerinya di Barla. Oleh kerana itu penduduk di sana tidak
mendekatinya dan tidak banyak berbicara dengannya, sehingga beliau
banyak menghabiskan waktunya di rumah atau keluar pada waktu musim bunga
dan panas kepergunungan Igridir. Di sana, di puncak gunung tersebut dan
di antara pepohonan, beliau bersendirian untuk bertafakur dan
beribadah.
UZLAH DAN KESEPIAN
Beliau menulis tentang
uzlah, kesepiandan keterasingannya pada waktu itu sebagai berikut:
“Ketika saya berada di pengasingan saya – yaitu penawanan yang
memedihkan – saya tinggal seorang diri,terasing dari orang lain di atas
puncak gunung Jaam 25 yang menghadap ke arah rerumputan Barla. Saya
mencari cahaya pada uzlah tersebut. Pada suatu malam, di kamar kecil
tanpa atap yang dipasaang di atas pohon cemara yang tinggi itu, zaman
ketuaanku meliputiku dengan berbagai perasaan keterangan – sebagaimana
saya terangkan di dalam “al-Maktub as-Sadis dengan sejelas-jelasnya.
Pada malam yang tenang, tanpa bunyi dan suara apa pun kecuali bunyi yang
memedihkan itu telah menimpa perasaanku yang paling dalam dan menyentuh
zaman ketuaanku serta rasa keterasinganku, maka zaman ketuaanku itu
membisikiku dengan sebuah peringatan : “Sebagaimana siang hari telah
berubah menjadi kuburan yang gelap, dan dunia telah memakai kain
kafannya yang hitam, demikian pula siang umurmu akan berganti malam.
Siang dunia akan berubah menjadi malam musim panas kematian”. Jiwaku
menjawabnya dengan pedih : “Ya, sebagaimana saya sekarang terasing dari
negeriku dan jauh dari tanah tumpah darahku, maka perpisahanku dengan
orang-orang yang kukasihi pada umurku yang telah mencapai lima
puluhtahun dan tidak bisa berbuat apa pun kecuali melinangkan air mata
di belakang mereka, perpisahanku itu adalah keterasingan yang melebihi
keterasinganku dari tanah tumpah darahku. Dan pada malam ini saya merasa
terasing sehingga lebih sedih dan pedih daripada keterasinganku diatas
gunung yang dipenuhi dengan keterasingan dan kesedihan ini. Masa tuaku
memperingatkan aku akan dekatnya waktu perpisahan terakhir dari dunia
dan segala isinya. Di dalam keterasingan yang dipenuhi kesedihan ini dan
dari kesedihan yang bercampur kepedihan ini, saya mulai mencari nur dan
cahaya harapan. Tiba-tiba datanglah “iman kepada Allah” untuk
menyelamatkanku dan mengeratkan ikatanku serta memberiku hiburan yang
seandainya penderitaan dan kesepianku berlipat ganda, nescaya hiburan
tersebut cukup untuk mengobati jiwaku”. (33)
PEMULAAN PERKENALAN
Para
penduduk Barla sering melihat Sheikh Said ketika beliau keluar dari
rumahnya menuju ke gunung atau kembali ke rumahnya dari gunung tersebut.
Tidak seorang pun di antara mereka yang berani menegurnya. Beliau
adalah orang yang tidak disukai penguasa, jadi mengapa membuat masalah
dengan para penguasa sedang mereka tidak memerlukannya?! Akan tetapi...
pada suatu hari, di waktu musim panas, Sheikh Said keluar dari rumahnya
menuju ke gunung seperti biasa. Cuaca cerah, dan matahari pun bersinar
terang. Namun begitu Sheikh Said sampai di puncak gunung, tiba-tiba
langit diliputi dengan mendung hitam yang memberi peringatan akan
dekatnya angin taufan. Dan benar saja, langit berkilat dan petir
menyambar-nyambar lalu hujan turun dengan lebatnya. Sheikh Said berada
seorang diri di atas puncak gunung itu. Beliau tidak mempunyai tempat
berlindung dari air hujan yang mencurah-curah selain pepohonan yang
tidak cukup untuk melindungi diri dari basah. Setelah beberapa lama
kemudian, hujan mulai reda dan turun rintik-rintik. Sheikh segera
menggunakan kesempatan itu untuk kembali ke rumahnya. Sekujur tubuhnya
basah kuyup. Di jalan, sepatunya koyak.Maka beliau lalu masuk ke desanya
sambil membawa sepatunya itu dengan tangan dan berjalan melalui lumpur
dengan sarung kakinya yang putih.
Berdekatan mata air
ada beberapa penduduk Barla yang sedang berkumpul dan bersembang. Mereka
menyaksikan pemandangan yang menakjubkan ini. Yaitu pemandangan seorang
ulama besar yang disegani dan diasingkan dari tanah airnya ...seorang
diri...terasing dari semua orang, sedang membawa sepatunya yang koyak
dengan tangannya dan berjalan melalui tanah liat dengan sarung kakinya,
sampai hujung pakainya pun berpalitan tanah liat. Para penduduk itu
terdiam. Dua perasaan saling tarik-menarik di dalam diri mereka.Perasaan
ingin segera menolongnya dan perasaan takut terhadap mata-matapenguasa
yang sentiasa mengawasi setiap gerak-serinya. Akhirnya, salahseorang
daripada penduduk itu tampil. Namanya Sulaiman. Dia mengambil kasut
Sheikh dan membersihkannya di danau, kemudian dia mengiringi beliau
sehingga sampai rumahnya dan masuk bersama beliau ke dalam kamarnya.
(34)
Ini adalah permulaan perkenalan. Setelah itu
Sulaiman menjadi murid setia Sheikh. Dia membantu dan menolongnya serta
berguru kepadanya selama lapan tahun. Dialah penghubung pertama antara
Sheikh dengan orang lain. Kemudian murid-murid Sheikh pun bertambah
banyak. Beliau segera menyebarkan risalah-risalahnya yang dijuluki
dengan risalah-risalah an-Nur secara sembunyi-sembunyi, dan semakin
bertambahlah kelompok pengajian Sheikh. Mereka mengkaji risalah-risalah
an-Nur lalu menulisnya kembali dan menyebarkannya ke seluruh pelosok
Turki dengan menanggung akibat perbuatan ini – yaitu ditangkap, diusir
dan diseksa – dengan senang hati.
RISALAH-RISALAH AN-NUR
Pada
tahun-tahun gelap itu Islam mendapat goncangan yang kuat di Turki.
Perang melawan Islam dipimpin oleh pemerintah dengan segala alat
propaganda dan media massa yang dimilikinya dan dengan pena orang-orang
munafik, para penjilat dan musuh-musuh Islam dari kalangan para penulis
dan wartawan. Dan pada waktu yang sama, mulut para da’i disumbat dan
dihalangi daripada membela akidah mereka. Asas Islam dan prinsip
dasarnya telah diserang dengan keraguan dan pengingkaran di dalam diri
kebanyakan pemuda yang tidak mendapatkan pembimbing dan pendidik.
Melihat keadaan itu, Sheikh Said Nursi mengambil keputusan untuk memikul
amanah besar tersebut di atas bahunya dan beliau berusaha untuk
“menyelamatkan iman”di Turki.
Ya, menyelamatkan iman
adalah masalah utama yang tidak boleh ditangguhkan atau dilalaikan.
Beliau membetulkan persepsi orang terhadap dirinya yang telah dipalsukan
oleh para penguasa yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang sheikh
tarekat sufi. Kata beliau : “Saya bukan seorang sheikh sufi. Sekarang
bukan waktu tarekat sufi, akan tetapi waktu menyelamatkan iman”.(35).
Kita melihat bahawa risalah pertama yang beliau karang adalah risalah
“al-Hasyr” kerana masalah kebangkitan dan kewujudan hari kiamat serta
hari pengumpulan semula (di padang mahsyar) telah dikelirukan
persepsinya oleh para penguasa sehingga seolah-olah hanyalah khurafat
atau cerita dongeng yang tiada sandaran bukti akal atau ilmiahnya.
Sheikh telah menerangkan di dalam risalah ini mengenai masalah
kebangkitan dan pengumpulan dengan berilhamkan Asmaul Husna (nama-nama
Allah yang baik) seraya memberikan pandangan yang dekat dengan
penglihatan manusia dan kehidupannya yang nyata. Antara lain; tidurnya
adalah salah satu macam daripada kematian, dan terjaganya adalah semacam
kebangkitan. Tumbuh-tumbuhan layu dan mati, tetapi tak lama kemudian
berdaun dan berbunga lagi. Ini adalah proses kebangkitan yang baru, yang
sentiasa berulang-ulang di depan kita, jadi mengapa hairan terhadap
kebangkitan pada hari kiamat?
Penulisan
risalah-risalah an-Nur dan penerbitannya adalah sesuatu yang istimewa di
dalam sejarah dakwah Islamiah moden. Hal itu kerana Sheikh Said Nursi
tidak menulis kebanyakan risalahnya dengan tangannya sendiri, karena
beliau adalah setengah buta huruf dari segi kemampuan menulis. Beliau
mendiktekan risalah-risalah ini kepada beberapa muridnya pada
waktu-waktu semangat rohani dan perasaannya berkobar. Setelah itu, teks
asli tersebut tersebar di kalangan murid-muridnya yang selanjutnya
mereka salin dengan tangan, kemudian teks-teks tersebut dikembalikan
kepada beliau untuk ditelitinya satu persatu dan dibetulkan jika
salah.26 Beliau tidak mempunyai sebarang kitab atau bahan rujukan ketika
mengarang selain al-quran al-karim. Beliau dalam hal ini ditolong oleh
anugerah Allah berupa ingatan yang luar biasa dan kekuatan menghafal
yang sangat mengagumkan, sehingga ketika menulis risalah-risalah,beliau
mengambil daripada khazanah hafalannya terhadap sumber rujukan ilmu-ilmu
agama yang telah beliau baca ketika muda dahulu.
--------------------------------------------------
26
Abdullah Jawish berkata: “Saya meninggalkan desa Islam setelah maghrib
dengan membawa risalah-risalah an-Nur yang disalin oleh al-Hafidh Ali di
dalam begku. Saya berjalan semalaman sehingga sampai di Barla pada
waktu fajar dan saya melihat Sheikh sedang menunggu. Beliau menyambutku
dengan gembira sekali. Kami solat subuh berjamaah, kemudian saya tidur.
Keesokan harinya saya menerima naskhah dari Sheikh dan meninggalkan
Barla pada waktu malam hari supaya sampai di desa “Islam” dan
menyerahkan naskah tersebut kepada al-Hafidh Ali:. (DariSon Sahitleer
jilid 1 hal 69)
CARA MENYEBARKAN RISALAH-RISALAH AN-NUR
Pada
waktu itu huruf Arab telah ditukar menjadi huruf Latin. Mencetak
danmenerbitkan buku dengan huruf Arab adalah dilarang.
Percetakan-percetakan yangmenggunakan huruf tersebut telah disegel. Maka
cara menyalin dengan tangansecara rahsia adalah cara satu-satunya yang
efektif untuk menyebarkanrisalah-risalah orang yang diasingkan, diawasi
dan dilarang mengarang sertamenerbitkan. Apa lagi beliau berkeras hati
untuk menulis dengan huruf Arabuntuk menjaga supaya tidak lenyap dan
dilupakan.
Ketika kelompok pengajian murid-murid Sheikh Said
semakin meluas, risalah-risalah ini sampai ke desa-desa dan
daerah-daerah sekitar Barla.Risalah-risalah tersebut tersebar dan
dipelajari secara rahasia. Bahkan ia dibawa sampai ke kota-kota lain
yang jauh dan mendapat tempat di hati dan jiwa baru yang haus akan
hidayah dan nur di padang pasir yang panas dan gelap-gelita.
Pemerintah
mulai mengusir murid-murid an-Nur dan menyerbu serta menyiasat tempat
tinggal mereka. Murid-murid pun menerima tekanan-tekanan ini dengan
lapang dada dan keyakinan yang teguh bahwa penjara adalah harga paling
murahyang harus mereka bayar sebagai cukai iman dan bahwa penjara tiada
lain adalah “sekolah Yusuf” sebagaimana istilah Sheikh yang
mengadaptasinya dari ayat suci dalam surat Yusuf:
“Kerana itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya” (Surat Yusuf 42).
Berpuluh-puluh,
kemudian beratus-ratus, bahkan beribu-ribu murid an-Nur, baik laki-laki
mahupun wanita, tekun menyalin Risalah-Risalah an-Nur siang dan malam
dalam masa yang lama. Bahkan ada sebagian dari mereka yang menghabiskan
masa tujuh tahun tidak meninggalkan rumahnya untuk melaksanakan tugas
ini.
KAUM WANITA DI JALAN AN-NUR
Di dalam
kampungnya ini, kaum wanita turut andil dengan efektif
dansungguh-sungguh. Para pemudi yang bisa menulis ikut andil menulis dan
menyalin,sedang mereka yang tidak bisa meniru tulisan, yakni menulis
dengan cara mengukir dan menggambar. Beberapa wanita datang kepada
Sheikh Said Nursi dan berkata: “Wahai Sheikh, kami – agar kami bisa ikut
serta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah untuk suami kami agar
mereka dapat melapangkan sepenuh masa mereka untuk menulis
risalah-risalah an-Nur”.(36)
Risalah-risalah an-Nur
tersebar dengan cara demikian selama dua puluh tahun. Setelah itu, ia
dicetak pertama kalinya dengan Roneo.27 Ia tidak dicetak dipercetakan
umum kecuali pada tahun 1956M. Ini kecuali risalah al-Hasyr, karenaia
dicetak secara sembunyi-sembunyi di Istanbul dengan perantaraan salah
seorang muridnya.
0 comments:
Post a Comment